Malam
itu, aku menulusuri gelapnya kampus kala liburan. Angin bertiup sangat lembut
nan mesra. Halaman yang biasanya ramai dengan mahasiswa teknik terlihat kosong,
hening dan gelap. Bahkan lampu yang biasanya menyala pun tidak bersinar,
mungkin karena tidak ada yang menghidupkan saklarnya. Ya, iyalah ta… Malam itu
aku berjalan berdampingan dengan seorang wanita yang ku kenal sangat lembut. Padahal
biasanya aku seorang diri menikmati gelapnya kampus malam.
Nilam
namanya. Obrolah dua orang gadis malam itu tak jauh dari berbagai macam
kesibukan kampus. “gimana persiapan SAC lam?” tanyaku. “ng, kemaren udah survey
sih, masih cari-cari vila” jawabnya dengan nada khas miliknya. Nilam, memang
terlihat diam. Namun, diamnya itu produktif. Setiap tugas yang diberikan
padanya selalu ia selesaikan dengan baik. Kini, banyak amanah yang menghampiri
dirinya. Ia sepertinya sangat terbuka dengan berbagai amanah, mencintai amanah
dan totalitas dalam menjalankan amanahnya. Semoga ia selalu dikuatkan dalam
segala kesibukannya, kuatkan pundaknya dan kokohkanlah hati juga raganya, ya
Allah. Ia sempat bertanya mengapa aku tak ikut dalam kepanitiaan itu. Maaf lam,
aku tidak bisa membantumu karena kesibukanku yang lain. Kini, sudah banyak
partner yang mendampingimu dengan kesungguhan hati mereka. Sampai akhirnya kita
sama-sama tertawa, ketika saling mengetahui bahwa kita mengikuti suatu projek yang
sama, yaitu memperkenalkan jurusan kuliah pada adik-adik yang akan memasuki
jenjang kuliah. “iya, Nilam iseng-iseng buka, ada nama Nita Anggraeni. Kirain Nilam
kebetulan, eh terus ada nama Aini juga. Ternyata itu emang mereka, kata Nilam”
jelasnya sambil tersenyum simpul, khas sekali miliknya.
Cara
bicaranya, pembawaannya, dan senyumnya itu khas sekali miliknya. Percakapan kami
terhenti ketika bis besar P 98 A melaju di sampingku. Akupun terburu-buru dan
bersalaman dengannya. Sekitar sepuluh langkah aku berlari dan hap, aku berhasil
naik ke dalam bis. Malam itu, bis jemputanku tak seramai biasanya. Aku masih bisa
memilih tempat ternyaman untuk menghabiskan waktu satu jam ke depan. Aku memilih
barisan dengan tiga kursi yang mungkin sekitar baris ke lima dari sang pengemudi.
Padahal biasanya aku selalu memilih kursi yang dua, entah kenapa malam ini aku
ingin saja duduk di kursi tiga itu. Kelap-kelip, merah-putih-oren lampu kendaraan
ibukota menjadi pemandangan indah malam itu. Jalan yang tak seramai biasanya
seakan tahu bahwa aku ingin sekali cepat sampai di rumah. Di lampu merah
pertama jalanan masih aman dengan volume kendaraan yang cukup stabil. Kecepatan
kendaraan mungkin 20 km/jam.
Sampai
di lampu merah Utan Kayu aku melihat dua sosok yang tengah berlari dari
kejauhan, tangannya melambai dan kaki itu tak henti berlari mengejar. Sosok yang
ku kenal sepertinya, meskipun aku tak dapat melihatnya dengan jelas. Karena keadaan
sekitar mereka yang gelap dan aku tidak memakai kaca mata saat itu. Ya, dua
orang yang amat ku kenal. Melihat mereka berlari dan melambaikan tangan agar
bis berhenti membuatku tersenyum dan entah mengapa aku merasa bahagia sekali
melihatnya. Sang pengemudi menginjak rem secara perlahan hingga mobil terhenti.
Akupun melihat ke belakang karena aku tahu mereka pasti naik lewat pintu
belakang. Benar saja, raut wajah lelah setelah berlari itu terlihat sumringah. Aku
lambaikan tanganku pada mereka. Bermaksud memberitahu mereka bahwa aku ada
dalam bis ini. Mereka langsung berjalan menghampiriku dengan senyuman dan duduk
di sampingku. “Jodoh ternyata” ucap salah satunya. “tuh kan, jodoh” kataku
sumringah. Bagaimana tidak. Sekitar 20 menit yang lalu kami memang sedang
bersama di masjid kampus, selesai melaksanakan sholat maghrib. Namun langkah
kaki kami berbeda arah, mereka lewat jalan yang biasa mereka lalui yaitu lewat
depan kampus. Sedangkan aku terbiasa lewat belakang kampus. Padahal kami
searah. Hehe… “Bila kita berjodoh, pasti kita dipertemukan dalam sebuah bis”
ucapku sambil tersenyum kala langkahku mulai berlawanan arah dengan mereka. “ah,
padahal kita niatnya naik P 17 A” ucap salah satunya sambil terkekeh. Biarlah,
mungkin ucapanku seperti gurauan semata.
Nyatanya,
duh.. kita berjodoh memang. Sebut saja mereka Fitri dan Septi. Sepasang sahabat
yang sangat sibuk dengan amanahnya. Kami sempat terkekeh dengan ucapanku yang
ternyata terbukti langsung, ya… kita
berjodoh :)
Selanjutnya,
kesibukan kegiatan kampus lagi-lagi menjadi berbincangan favorit kami. Mereka mulai sibuk megeluarkan ponselnya dari
tas masing-masing. Fitri, seorang wanita tangguh yang selalu menguatkan itu
mulai mempersiapkan segudang kegiatannya esok hari, mulai dari harus berangkat
pagi untuk beres-beres sekretnya. Sampai cerita bagaimana harus menunggu
kendaraan umum yang harus ia naiki (sebut saja Kowan). Septi, wanita yang kata
orang agak kekanakan ini sibuk sekali dengan ponselnya, pengaduan teman-teman
mahasiswa yang mengalami kesulitan bayaran ada di tangannya. Amanahnya membuat
ia tidak tidur semalaman karena memikirkan keselamatan kuliah orang lain. Mulia
sekali hatinya. Di mataku dia malah terlihat sangat dewasa. Mereka adalah orang-orang
yang selalu totalitas dalam menjalankan amanahnya. Bersedia tidak libur meski
sedang liburan. Ah, aku merasa iri pada mereka. Aku belum bisa totalitas dengan
amanahku. Banyak hal yang membuatku berulang kali berpikir untuk mundur dari
amanah. Namun, mereka-mereka inilah sosok yang selalu menguatkan dan
menyakinkan aku bahwa aku bisa.
Ya
Allah. Biarkanlah aku tetap berada di tengah-tengah mereka yang selalu menguatkanku.
Biarkanlah aku melihat senyuman dari bibir mereka yang merekah. Biarkanlah aku
menjadi setitik bagian dari kisah hidup mereka. Biarkanlah aku untuk mencintai
mereka karena-Mu. Ya Allah. Berikanlah mereka kekuatan dan kemampuan untuk
melaksanakan segala amanahnya, berikanlah mereka keberkahan-Mu atas segala
kebaikan yang mereka lakukan, lindungilah
mereka dengan kekuasaan-Mu, dan
jadikanlah mereka orang-orang hebat yang selalu bisa menghebatkan orang lain.
hiks,,,, kita juga pernah se mayasari nit,, padahal naik dari arah yang berbeda
ReplyDeleteiya, yang kita gak kebagian duduk kan hehee
Delete